Kaya Dan Miskin Adalah Ujian

Kaya Dan Miskin Adalah Ujian

Renungan Ramadhan: Kaya Atau Miskin Hanyalah Ujian

Allah SWT telah membuat ketetapan bahwa diantara manusia akan ada yang kaya dan ada yang miskin (QS.17:30). Sampai kiamat, orang miskin akan tetap ada meskipun manusia berupaya keras menghilangkannya. Kaya dan miskin itu adalah skenario Allah SWT, seperti adanya sebagian orang  beriman dan ada pula manusia yang kafir (QS.64:2). Kalau ada upaya menghapus kemiskinan berarti menentang Allah SWT.

Allah SWT membuat ada yang kaya dan miskin, agar manusia saling berhubungan satu sama lain. Bayangkan jika seluruh manusia kaya, siapa yang menjadi tukang tambal ban? Sebaliknya jika manusia miskin semua akan terjadi kerusuhan memperebutkan makanan. Selain itu, adanya kaya dan miskin adalah model ujian dari Allah SWT bagi manusia, sehingga pada setiap orang akan datang suatu masa diuji dengan kekayaan dan dimasa lain akan diuji dengan kemiskinan (QS.89:15-16). Allah SWT ingin melihat bagaimana reaksi si fulan ketika di uji dengan kedua hal itu, adakah dia tetap bersyukur atau menjadi kufur. Umumnya manusia akan taat ketika miskin, dan lalai ketika sudah diuji dengan kekayaan (ingat kisah Qarun atau Tsa’labah). Begitu beratnya ujian kekayaan itu, sehingga Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq RA pernah berkata,”Kami di uji dengan kemiskinan kami sanggup, namun tatkala diuji dengan kekayaan hampir-hampir kami tak sanggup”.

Manusia kaya bukan karena dia pintar atau hebat, melainkan karena Allah SWT sedang memudahkan rezekinya. Berapa banyak orang pintar tapi tidak kaya, dan berapa banyak orang yang tidak pintar namun diberi kekayaan melimpah. Tidak ada korelasi (hubungan) positif antara kaya dengan tinggi rendahnya pendidikan. Bahkan kadangkala semakin tinggi pendidikan seseorang maka semakin sulit pula rezekinya, namun orang yang tidak berpendidikan tinggi malah begitu mudah rezekinya. Banyak sarjana ekonomi hari ini menganggur dan tak punya penghasilan. Semuanya membuktikan bahwa kita manusia tidak punya kuasa atas kekayaan, melainkan Allah SWT lah yang Maha Berkehendak. Buktinya, 100 orang terkaya di dunia tidak berasal dari turunan orang kaya, 100 orang terkaya di Indonesia tidak bersekolah tinggi.

Seperti musim panas dan musim hujan, kaya dan miskin akan datang bergiliran. Tidak ada garansi bahwa seseorang akan kaya selamanya, dan tidak ada pula ketetapan bahwa orang miskin akan miskin selamanya. Betapa banyak orang kaya, anaknya melarat. Sebaliknya, betapa banyak orang miskin yang anaknya kaya raya. Tidak ada suatu formula yang memberikan resep agar seseorang mampu bertahan kaya selamanya. Allah SWT bisa membuat kondisi orang kaya tiba-tiba miskin dengan sebab yang bermacam-macam (kena penyakit, dihukum penjara, usaha bangkrut). Sebaliknya orang miskin bisa Allah SWT kayakan secara cepat melalui berbagai jalan (usahanya lancar, diberi otak dan ilmu yang bermanfaat). Karena kaya dan miskin tidak bisa diperkirakan dan dikendalikan, maka kita harus selalu siap menghadapi kedua ujian ini, kaya atau miskin!

Miskin adalah orang yang sehat dan kuat fisiknya, punya pekerjaan tetap dan punya penghasilan namun penghasilannya itu kurang dari kebutuhan pokok diri dan tanggungannya. Misalnya seorang  punya istri dan 5 orang anak, kebutuhan pokok keluarganya adalah Rp5 juta sebulan, tapi penghasilannya cuma Rp4 juta (80%), maka ia tergolong miskin.  Sedangkan Fakir adalah orang yang secara fisik memiliki kekurangan, misalnya buta, lumpuh, tuli, janda yang tidak memiliki penanggung, sarjana yang belum mendapat pekerjaan yang sesuai dengan keahliannya, atau orang yang memiliki pekerjaan tapi penghasilannya kurang setengah (<50%) dari kebutuhan diri dan tanggungannya. Fakir jauh lebih buruk keadaannya dari si miskin, sehingga jika ditemukan keduanya maka fakir mesti didahulukan.

Batasan miskin dibuat oleh berbagai pihak atau lembaga. Pemerintah memberi batasan miskin adalah orang yang punya pengeluaran US$ 1,5 per hari. Bank Dunia memberi batasan bahwa miskin adalah orang yang punya penghasilan kurang dari US/per hari Pusat Pemungutan Zakat (PPZ) Malaysia memberi batasan bahwa orang yang berhak menerima Zakat (orang miskin) adalah orang yang punya penghasilan kurang dari RM2000 perbulan atau Rp7.400.000 (1RM = Rp3700). Direktorat Jenderal Pajak mengenakan pajak (dianggap orang kaya) jika penghasilan sudah diatas Rp3.000.000. per orang per bulan. Rasulullah SAW memberi batasan bahwa orang miskin ialah yang punya harta kurang dari 50 dirham (perak) atau sekitar Rp4.000.000. (1 dirham = Rp80.000). Al-Qur’an memberi batasan miskin adalah orang yang punya harta (Wajib Zakat) lebih dari 85 gram emas atau senilai Rp42.500.000 setahun atau Rp3.541.666. per bulan. Sebagai seorang Muslim akan lebih tepat memakai ukuran Al-Qur’an dan Hadits Nabi Muhammad SAW.

Untuk mengatasi kemiskinan ini, Islam membagi orang miskin atas 3 (tiga) kelompok. Kelompok pertama adalah orang miskin namun masih kuat bekerja. Atas kelompok pertama ini tidak boleh diberi Zakat atau Infaq, tapi mereka harus bekerja. Rasulullah SAW bersabda ,” Wala Hazhzha fii haa li ghaniyyin wa la li qawwiyin muktasibin”, artinya,”Tidak ada hak  Zakat untuk orang kaya, maupun orang yang masih kuat bekerja..” (HR. Nasa’i 2598, Abu Daud 1633, dan dishahihkan Al-Albani).

Kelompok kedua adalah orang yang miskin tapi masih punya karib kerabat. Kelompok miskin kedua ini diatasi dengan member Infak (nafkah). Islam mengatur bahwa karib kerabat adalah orang yang pertama kali bertanggungjawab terhadap saudaranya yang miskin (QS.2:215). Jika ditemukan orang miskin maka harus ditanya dulu siapa karib kerabatnya (ayah, ibu, saudara, paman). Rasulullah SAW pernah ditanya seseorang yang mengeluh bahwa dia punya saudara yang kerjanya hanya beribadah saja, sedangkan nafkahnya dia yang memberi. Maka Rasulullah SAW mengatakan bahwa engkau tidak tahu jangan-jangan rezeki engkau disebabkan do’a saudaramu yang rajin beribadah itu. Kita sesama saudara sangat dianjurkan untuk saling memberi sebagaimana Rasulullah SAW telah mempersaudarakan kaum Muhajirin dan Ansar di Madinah.

Kelompok ketiga adalah mereka yang miskin dan tidak punya karib kerabat atau miskin dan punya kerabat tapi kerabatnya juga miskin, maka mereka adalah tanggung jawab Ulil Amri (negara) dengan memberi mereka Zakat (QS.9:103 dan 60). Zakat dipungut oleh pemerintah atau lembaga yang disahkan oleh pemerintah, agar tercipta keadilan dalam pendistribusiannya dan menghilangkan rasa rendah diri si penerima zakat (mustahik).

Ketika ujian kekayaan datang, maka Allah SWT perintahkan kita untuk berzakat, mengeluarkan hak orang miskin yang “menempel” pada harta kita. Zakat yang dikeluarkan adalah “kotoran” yang tidak boleh termakan oleh si kaya (Muzakki /Wajib Zakat). Rasulullah SAW pernah memaksa cucu beliau Husein agar memuntahkan zakat yang termakan karena khawatir itu qurma Zakat. Selain tak boleh dimakan, pemanfatan zakat juga tidak boleh dinikmati pembayar Zakat. Misalnya uang Zakat dibelikan keramik untuk masjid dan masjid itu dipakai sikaya, maka dalam hal ini sikaya ikut menikmati zakat yang bukan haknya.

Disamping Zakat, ada lagi kewajiban kaum Muslimin yang kedua yaitu Pajak (Dhariibah). Pajak sebetulnya bukan pengeluaran untuk orang lain, melainkan pengeluaran untuk diri sendiri yang dititipkan pengelolaannya kepada pemerintah. Allah SWT memerintahkan kepada seorang ayah agar memenuhi kebutuhan istri dan anaknya berupa makanan, pakaian (QS.2:233) dan rumah (QS.65:6). Selain itu, seorang Muslim juga perlu keamanan, kesehatan dan pendidikan. Seluruh kebutuhan diatas tidak dapat/boleh dikelola sendiri-sendiri (menangkap pencuri sendiri, mengobati diri sendiri, mengajar anak sendiri), namun harus dikelola secara ijtima’iyyah (kolektif) oleh Ulil Amri, dimana perlu adanya tentara, polisi, PNS, dokter, perawat, obat, guru, sekolah. Kalau dikelola sendiri-sendiri akan muncul hukum rimba, yang kuat menekan yang lemah atau terjadi monopoli yang merugikan pihak yang lemah dan miskin.

Zakat dan pajak hakikatnya adalah dua instrumen untuk memindahkan (distribusi) kekayaan dari orang kaya kepada orang miskin. Dalam al-Qur’an dikatakan,”likai laa yakuuna duulatan bainal aghniyaai minkum (agar harta itu jangan hanya beredar diantara orang-orang kaya di antara kamu), (QS.59:6). Dalam hadits disebutkan,” fa a’limhum annallaha iftaradha ‘alaihim shadaqah fi amwaalihim tu’khadzu min aghniyaa’ihim waturaddu ilaa fuqaraa ihim” yang artinya ,”Allah telah mewajibkan kepada mereka zakat atas harta mereka, diambil dari orang-orang kaya di kalangan mereka dan diberikan kepada orang-orang miskin dari mereka.” (HR Bukhari dari Mu’adz bin Jabal).

Zakat dan Pajak adalah dua kewajiban yang diambil dari sumber yang sama yaitu penghasilan (pendapatan). Ia ibarat dua mata air dari sebuah sumur, jika makin sering digali dan dibersihkan maka mata air akan bertambah dan air yang keluar akan bertambah banyak. Jika keduanya ditunaikan, maka akan diberi keberkahan oleh Allah SWT, sehingga harta akan semakin bertambah dan bertumbuh. Allah SWT telah menjamin, tidak akan berkurang harta dengan Shadaqah. Zakat dan Pajak adalah termasuk Shadaqah!

Di Masjid sering kita dengar pengumuman yang berbunyi,“Bapak-bapak, ibu-ibu, saudara-saudara jamaah yang dirahmati Allah SWT. Kami pengurus menerima sumbangan berupa Zakat, Infak, Shadaqah dan Waqaf, yang sepenuhnya akan kami gunakan untuk pembangunan dan berbagai keperluan dalam rangka memakmurkan masjid.” Sekilas pengumuman ini terlihat benar, namun ada yang keliru. Hal ini sungguh keliru karena pengurus menyatukan empat hal yang berbeda tujuan penggunaannya! Di masjid juga kita temukan kotak amal yang bertuliskan,”Zakat, infak, Shadaqah, Waqaf”. Sekilas antara keempat jenis penerimaan masjid tersebut tidak ada perbedaan bagi yang mengeluarkan hartanya, bahkan banyak petugas masjid yang menerima dana tersebut juga tidak faham perbedaannya sehingga dalam pemanfaatannya dianggap sama, padahal tujuan dan sumbernya adalah berbeda. Ibarat sebuah bus kota, lain bus lain pula trayeknya.

Infak berasal dari kata nafaqa yang berarti belanja (nafkah). Ia digunakan seperti kita memberi nafkah kepada anggota keluarga (istri, anak, ibu, kakak, adik), maka uang infak harus digunakan untuk kebutuhan rutin seperti gaji petugas (garin/marbot), listrik, telepon, air, alat kebersihan, makan dan minum jamaah. Infaq tidak boleh digunakan untuk membantu asnaf yang delapan yang merupakan wilayah zakat, apalagi  untuk belanja barang modal seperti bangunan, mesin, tanah, karpet, keramik, semen dan barang modal lainnya yang merupakan barang wakaf.

Zakat harus diserahkan kepada orang yang termasuk dalam asnaf yang delapan yaitu fakir, miskin, ‘amil, riqab (budak), gharim (orang yang berhutang), ibnu sabil (orang yang sedang dalam perjalanan) dan fisabilillah (orang yang berperang di jalan Allah SWT). Tidak diserahkan kepada masjid karena masjid bukan orang. Apabila pengurus masjid (sebagai ‘amil) menerima Zakat maka harus segera dibagikan kepada asnaf yang delapan tersebut, tidak boleh digunakan untuk keperluan masjid. Jika dipakai untuk masjid maka orang kaya (muzakki) yang shalat di situ akan ikut menikmati uang Zakat sehingga hal ini menjadi haram.

Wakaf harus digunakan untuk barang modal, yaitu barang yang dapat dipergunakan dalam jangka waktu lama seperti karpet, keramik, semen, batu batu, pengeras suara, tanah. Uang wakaf tidak boleh digunakan untuk gaji, alat pembersih, dan benda-benda yang cepat habis. Selama benda yang diwakafkan ada dan bermanfaat maka pahalanya akan mengalir kepada si wakif. Benda yang diwakafkan tidak boleh dijual, digadaikan atau dirubah statusnya sampai hari kiamat.

Rasulullah SAW bersabda,“Kullu ma’rufin shadaqah” yang artinya seluruh kebaikan adalah shadaqah. Zakat, Infaq, Wakaf diatas seluruhnya disebut Shadaqah. Shadaqah lebih luas karena terdiri dari materi dan non materi. Jika kita tidak mampu menolong saudara dengan materi maka kita bisa membantu dengan pemikiran atau tenaga. Hal ini termasuk shadaqah. Jika materi, pemikiran, tenaga juga tidak ada maka senyum kepada saudaramu juga shadaqah.

GusfahmiPegawai Direktorat Jenderal PajakSumber : pajak.go.id (16 Juni 2016)

JAKARTA - Ujian itu bukan hanya pada kesusahan saja, tapi juga pada kesenangan. Maka ingatlah kaya atau miskin sejatinya adalah ujian.

Allah Ta'ala berfirman :

Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan. Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan. (QS Al Anbiya : 35)

Baca Juga: Nafisah, Cicit Rasulullah Ini Tarikan Nafasnya Selalu Beriring dengan Zikrullah

Ustaz Abu Ghozie As Sundawie dalam pesannya dalam grup kajian dikutip pada Senin (4/1/2021) membeberkan Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata tentang ayat di atas:

"Kami menguji kalian terkadang dengan musibah dan terkadang pula dengan nikmat nikmat, agar kami melihat siapa yang bersyukur dan siapa yang kufur, siapa yang sabar dan siapa yang putus asa, sebagaimana Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu Abbas Firman Allah dan kami Menguji kalian yakni menguji dengan keburukan dan kebaikan sebagai fitnah, kesulitan dan kelapangan, kesehatan dan sakit, kaya dan miskin, halal dan haram, keta'atan dan kemaksiatan, petunjuk dan kesesatan, dan Firman Allah kepada kamilah kalian di kembalikan yakni untuk kami beri balasan atas amalan amalan kalian" (Tafsir Ibnu Katsir 5/342)

Baca Juga: Orang yang Terakhir Masuk Surga, Siapa Mereka?

Ibnu Mas'ud radhiyallahu anhu berkata:

"Kefakiran dan kekayaan itu dua tunggangan, aku tidak peduli mana di antara keduanya yang aku jadikan tunggangan. Jika kefakiran maka sesungguhnya di dalamnya ada kesempatan untuk bersabar dan Jika kekayaan maka di dalamnya ada kesempatan untuk berderma." (Madirij As-Salikin: 2/ 212).

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

Follow Berita Okezone di Google News

Dapatkan berita up to date dengan semua berita terkini dari Okezone hanya dengan satu akun di ORION, daftar sekarang dengan klik disini dan nantikan kejutan menarik lainnya

Terkadang ada orang yang mampu bertahan serta kuat dalam ujian kesulitan, kesusahan, namun lemah dan rapuh dalam ujian dengan kesenangan, kekayaan dan kelapangan.

Abdurrahman bin 'Auf radhiyallahu anhu mengatakan :

Kami diuji dengan kesempitan maka kamipun mampu bersabar, namun sebaliknya ketika kami diuji dengan kelapangan justru kami tidak sabar (Minhajul Qashidin : 272).

Semoga Allah menganugrahkan kepada kita kesabaran saat kita diuji, dimana kesabaran yang pahalanya demikian agung , Allah ta'ala menyebutkan :

"Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah Yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas." (QS Az Zumar : 10). Demikian semoga tercerahkan.

Dengarkan Murrotal Al-Qur'an di Okezone.com, Klik Tautan Ini: https://muslim.okezone.com/alquran

Follow WhatsApp Channel Okezone untuk update berita terbaru setiap hari

Puncta 09.03.23Kamis Prapaskah IILukas 16: 19-31

KESENJANGAN hidup di tengah masyarakat nampak dari gaya hidup para pejabat. Kasus mantan pegawai pajak yang mempunyai harta kekayaan sampai milyaran rupiah sangat kontras dengan kondisi masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan.

Di satu pihak para pejabat hidup bermewah-mewah, sementara di tempat lain rakyat kecil hidup sangat menderita.

Dari Detikfinance dicatat bahwa Jakarta masuk urutan ke-20 dari 25 daftar kota termahal dunia pada 2021. Kondisi antara si kaya dan si miskin sangat “jomplang” artinya jurang kesenjangan sosial makin tinggi.

Menurut data Badan Statistik Nasional, ratio gini di Jakarta ada di 0,400 di tahun 2020. Padahal ratio gini nasional adalah 0,385. Artinya kesenjangan sosial di Jakarta jauh lebih besar daripada rata-rata nasional.

Yang mengejutkan justru Yogyakarta berada di puncak dengan angka 0,459.

Untuk kita pahami, ratio gini adalah indikator yang digunakan untuk mengukur tingkat ketimpangan pendapatan antar masyarakat di suatu negara atau suatu daerah.

Kalau angkanya semakin tinggi atau mendekati nilai 1, itu berarti ketimpangan di suatu daerah semakin tinggi.

Ketimpangan sosial akan berdampak pada kehidupan masyarakat; makin banyak pengangguran, kejahatan meningkat, daya beli masyarakat rendah, tingkat depresi dan stres makin tinggi. Hal ini harus menjadi keprihatinan semua pihak.

Dalam Injil digambarkan tingkat kesenjangan yang tinggi antara si kaya dan miskin dalam diri Lazarus.

Si kaya hidup dalam kemewahan, selalu memakai jubah ungu dan kain halus, setiap hari bersuka ria dalam kemewahan.

Sedang Lazarus si miskin hidup sebagai pengemis, badannya penuh dengan borok. Ia berbaring dekat pintu rumah orang kaya, Ia hanya bisa mengharapkan belas kasih dari orang kaya.

Tetapi malahan anjing-anjing menjilati boroknya.

Keadaan menjadi berbalik ketika mereka mati. Orang miskin itu berada dalam pangkuan Bapa Abraham dalam kemuliaan sedang si miskin mengalami derita yang kekal.

Orang kaya itu meminta bantuan Lasarus agar menyelamatkannya dari tempat penyiksaan itu.

Hal ini menunjukkan apa yang kita buat di dunia nanti juga akan terjadi di akerat. Apa yang tidak kita lakukan di dunia nanti pun tidak akan terjadi di kehidupan nanti.

Orang kaya itu semasa hidupnya tidak mau membantu Lasarus yang miskin. Kekayaannya hanya untuk dirinya sendiri.

Kekayaan bukan sesuatu yang buruk, jelek. Kita boleh menjadi kaya. Tetapi kita harus sadar bahwa kekayaan itu bersifat sosial.

Apa yang kita miliki adalah anugerah Tuhan. Anugerah itu harus dibagi untuk keselamatan orang lain juga.

Orang zaman ini sangat individualis. Mereka berpikir orang lain bukan urusan saya. Orang tidak mau peduli dengan keadaan di sekitarnya.

Kita harus ingat bahwa manusia itu makhluk sosial. Mari kita pupuk kesadaran sosial. Kita ingat sila ke lima dalam Pancasila; Keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia.

Jangan menyesal kalau nanti KPK menelisik harta kekayaan anda yang tidak jelas asal-usulnya dan menjeratnya dengan pasal pencucian uang. Lalu anda akan merengek-rengek minta bantuan Lasarus di surga sana.

Menikmati balet Ramayana di bulan purnama.Di tribun hawanya dingin harus berselimut kain.Orang disebut kaya bukan karena banyak harta,Dia adalah orang yang mau berbagi dengan orang lain.

Cawas, mari kita berbagi…

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

"Yang kaya semakin kaya dan yang miskin semakin miskin" adalah pepatah yang kemungkinan pertama kali diungkapkan oleh Percy Bysshe Shelley dalam esainya A Defence of Poetry (1821, tidak diterbitkan sampai tahun 1840). Dalam esai tersebut dia menulis: "To him that hath, more shall be given; and from him that hath not, the little that he hath shall be taken away. The rich have become richer, and the poor have become poorer; and the vessel of the State is driven between the Scylla and Charybdis of anarchy and despotism."[1]

"To him that hath" dst. adalah referensi ke Matius 25:29 (perumpamaan talenta, lihat juga efek Matius). Pepatah tersebut umumnya diungkapkan dengan berbagai variasi kata-kata, untuk merujuk pada efek kapitalisme pasar bebas yang menghasilkan kesenjangan berlebih.

Kaya miskin adalah ujian | Ada kisah imajinatif tentang tiga jenis angin yang adu kekuatan. Angin topan, angin puting beliung dan angin sepoi-sepoi. Ketiga angin ini bersaing menjatuhkan seekor monyet di atas dahan.

Dengan kecepatan tinggi, angin topan menerjang. Makin kencang, makin erat si monyet berpegangan. Tak berhasil.

Giliran angin puting beliung. Pusaran makin besar, makin besar pula kekuatannya. Lagi-lagi si monyet makin kuat berpegangan. Gagal juga.

Kedua angin itu sempat meremehkan angin sepoi-sepoi. “Mana mungkin kamu bisa menjatuhkannya? Dengan kekuatan kami saja, dia tak juga jatuh, apalagi kamu yang pelan embusannya.”

Angin sepoi-sepoi pun beraksi. Embusan semilir justru membuat monyet itu mengantuk. Lantas tangannya tak lagi berpegangan. Dan monyet itu pun terjatuh.

Kaya miskin adalah ujian, Kekayaan Bukanlah Wujud Kemuliaan

Betapa banyak orang yang gagal dengan ujian kenikmatan seperti kisah di atas. “…Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya)…” (QS. Al-Anbiyaa 35). Kebaikan dan keburukan ibarat dua mata uang yang terpisahkan. Susah-senang datang silih berganti.

“Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah memuliakanku.’ Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, ‘Tuhanku telah menghinaku.’ Sekali-kali tidak!...” (QS. Al Fajr 15-16).

Kekayaan itu juga ujian dan bukan tanda kemuliaan dari Tuhan. Nabi Muhammad saw. bersabda, “Demi Allah, dunia ini lebih hina di sisi Allah dibanding bangkai ini (kambing yang cacat) di mata kalian” (HR. Muslim).

Betapa banyak orang yang sebelumnya fakir lalu Allah memberinya sejumlah harta yang banyak lantas dia lalai. Qarun misalnya. Dia masih kerabat Nabi Musa.

Sebelum jadi saudagar, dulunya dia rajin membaca kitabullah. Sayangnya, kekayaannya malah membuatnya sombong dan lupa diri. Kaya miskin adalah ujian. Itulah yang dialami Qarun. Dia gagal melewati ujian itu.

“Dia berkata, ‘Sesungguhnya aku diberi kekayaan ini karena ilmu yang ada padaku.’ Tidakkah dia tahu bahwa Allah telah membinasakan umat-umat sebelumnya yang lebih kuat darinya dan lebih banyak mengumpulkan harta…” (QS. Al Qashash 78).

Harta itu Modal Perjuangan Bukan Hanya Kesenangan

Di sisi lain, kita bisa mengambil teladan baik dari Abdurahman bin Auf. Muhajirin senior ini lihai berbisnis. Setiap usaha yang digelutinya berkembang pesat. Ia ibarat Raja Midas dalam mitologi Yunani yang memegang benda kemudian bisa diubah menjadi emas.

Rahasia sukses Abdurrahman bin Auf dalam berdagang adalah menghindari yang haram dan syubhat (tidak jelas kehalalannya).

Ia juga banyak bersedekah. Suatu ketika Rasul saw berkata padanya. ”Wahai Ibnu Auf, sesungguhnya engkau adalah kelompok orang-orang kaya dan engkau akan masuk surga dengan merangkak. Karena itu berilah pinjaman kepada Allah niscaya Allah lepaskan kedua kakimu."

Abdurrahman bin Auf  khawatir jika hartanya makin memperlambat langkahnya ke surga. Kaya miskin adalah ujian. Itulah yang dirasakan pula oleh Abdurrahman bin Auf, sahabat nabi. Dan dia lulus dengan ujian kaya.

Dari situlah, ia pernah bersedekah 40.000 dinar kepada Bani Zuhrah (keluarga dari Siti Aminah, ibu nabi), istri-istri nabi, dan warga miskin.

Dia juga pernah menyerahkan 500 ekor kuda untuk jihad. Dia juga menyumbangkan 1.500 unta. Sepeninggal Nabi, Abdurrahman inilah yang menanggung seluruh kebutuhan istri-istri nabi.

Sebelum wafat, ia berwasiat 500 ribu dinar. Uang ini untuk perjuangan di jalan Allah dan 400 dinar bagi tiap veteran Badar dan keluarga syuhada Badar.

Inilah contoh betapa harta itu bermanfaat di tangan orang shalih. Namun harta juga jadi sumber malapetaka jika berada di tangan orang fasik seperti Qarun.

Baca juga: Dzikir Agar Masalah Cepat Selesai

Si Miskin Yang Akrab dengan Agama

Bagaimana dengan kemiskinan? Kita bisa mencontoh Abu Hurairah. Dulunya ia anak yatim yang berasal dari Bani Daus, agak jauh dari Mekkah.

Abu Hurairah adalah salah satu ahlush shuffah. Ini sebutan bagi para sahabat yang tidak punya tempat tinggal di Madinah atau tidak punya kerabat atau tidak punya harta atau juga perantau yang masuk Islam yang berasal dari negeri yang jauh.

Mereka tidur, makan dan belajar di Masjid Nabawi. Rasul saw tidak pernah mempermasalahkan keberadaan mereka. Bahkan Nabi sangat perhatian.

Sehari-hari, mereka bergaul dengan Nabi Muhammad dan banyak belajar. Di situlah, Abu Hurairah adalah sahabat Nabi yang paling banyak meriwayatkan hadits Nabi (5.374 hadits). Keseharian mereka diisi dengan menimba ilmu.

Ahlus shufah ini hanya memanfaatkan makanan yang ada di masjid atau pemberian nabi. Kadang ada beberapa sahabat yang mengundang makan. Jika tak, mereka pun berpuasa.

Masjid Nabawi kala itu seperti posko. Warga Madinah sering menggantungkan beberapa tangkai kurma di tiang-tiang masjid. Siapa saja boleh menikmatinya.

Baca juga: Cerita Hilangnya Kekayaan dalam Sekejap

Dekat Dengan Orang Shalih

Rasul saw. juga sering menerima hadiah makanan minuman. Maka pasti beliau membaginya bersama Ahlus Shuffah. Abu Hurairah pernah kelaparan. Sampai-sampai ia mengganjal perutnya dengan batu.

Hari itu tak ada sahabat yang mengundangnya makan. Syukur, Nabi mengundangnya. Di rumah Nabi ada semangkuk susu hadiah. Abu Hurairah berharap Nabi membagi susu itu dengannya.

Tapi Nabi malah menyuruhnya untuk mengundang semua Ahlus shuffah. Abu Hurairah berkata sendiri, “Sesungguhnya aku enggan karena aku berharap susu itu untukku.” Namun ia tetap menaati perintah nabi.

Berkumpullah 40 atau 70 orang. Lalu Nabi berdoa sambil memegang mangkuk itu lalu mempergilirkannya. Mukjizat, nyatanya susu itu tak habis-habis.

Nabi dan Abu Hurairah paling akhir. Nabi menyuruhnya minum dulu dan terus menyuruhnya, “Demi Allah yang mengutusmu dengan agama yang benar, saya tak sanggup lagi. Saya sudah kenyang.” Nabi pun tersenyum lantas meminumnya.

Baca juga: Amalan Agar Terhindar Dari Hutang

Imam Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan,

كان الفقر والغنى بليتين ومحنتين يبتلي الله بهما عبده

“Kekayaan dan kemiskinan merupakan dua cobaan yang ALLAH Ta’ala uji hamba dengan keduanya.”

[Ighotsatul Lahfan 1/29]

TRIBUNPRIANGAN.COM – Tribuners, sebagai seorang muslim tentu kita akan mengalami ujian yang bis adatang dari mana saja, termasuk dari harta yang kita punya.

Bukan berati si kaya akan terbebas dari ujian, malah sebaliknya.

Mau itu kaya atau miskin, itu adalah ujian dari Allah SWT.

Yang mana Allah SWT ingin melihat bagaimana hambanya bisa terus tawakal dan berharap padanya.

Berbicara perihal esok hari, tepatnya di hari Jumat tanggal 17 Mei 2024, kita selaku laki-laki beragama muslim akan melaksanakan ibadah Salat Jumat.

Hari Jumat yang merupakan Sayyidul Ayyam atau Penghulunya Hari pun diyakini oleh kaum muslimin sebagai hari yang penuh keberkahan.

Khusus untuk khutbah pada Jumat esok hari, berikut merupakan naskah khutbah Jumat yang sudah TribunPriangan.com lansir dari laman NU Jombang Online untuk tanggal 17 Mei 2024 bertemakan "Kaya dan Miskin adalah Ujian".

Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 17 Mei 2024, Niatkan Segala Aktivitas Sebagai Ibadah kepada Allah Taalaa

الحمد لله الواحد الأحد. الفرد الصمد. الذي لم يلد ولم يولد ولم يكن له كفوا أحد. وأشهد ان لا اله إلا الله وحده لا شريك له شهادة تكون سبب النعيم المؤبد. وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله النبي المفضل المشرف المؤيد. اللهم صل على سيدنا محمد صلى الله عليه وعلى اله واصحابه ما ركع راكع وسجد. وسلم تسليما كثيرا.

أما بعد: فيا أيها الحاضرون. اتقوا الله تعالى في الضرات والمسرات. قال الله تعالى في كتابه الكريم: وَمِنْهُمْ مَنْ عَاهَدَ اللَّهَ لَئِنْ ءَاتَانَا مِنْ فَضْلِهِ لَنَصَّدَّقَنَّ وَلَنَكُونَنَّ مِنَ الصَّالِحِينَ (75) فَلَمَّا ءَاتَاهُمْ مِنْ فَضْلِهِ بَخِلُوا بِهِ وَتَوَلَّوْا وَهُمْ مُعْرِضُونَ

Hadirin sidang Jumat rahimakumullah.

Marilah kita senantiasa meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah swt bertakwa kepada Allah baik dalam keadaan senang, luang, susah ataupun dalam keadaan sempit. Sebab takwa merupakan manifestasi ketaatan seorang hamba kepada Allah.

Selain itu, hendaklah kita dalam beribadah senantiasa dilandasi karena cinta kepada Allah dan ikhlas, tulus senantiasa mengharapkan ridha-Nya. Sebagaimana dalam sebuah riwayat disebutkan: Tsaubah pernah berkata, saya pernah mendengar Rasulullah saw bersabda, “Berbahagialah orang yang ikhlas, karena ikhlas adalah cahaya hidayah dan karena disebabkan oleh ikhlas fitnah yang paling kejam akan menjauhinya”

Baca juga: Naskah Khutbah Jumat 17 Mei 2024 dengan Tema Keistimewaan dari Kisah Gagalnya Berangkat Haji